“Limaadzaa
laa nuthabbiq maa ta’allimnaahu?” ini sebuah khutbah berbahasa Arab dalam
sebuah kaset. Artinya, kenapa kita tidak menerapkan apa yang sudah kita
ketahui? Isinya bagus sekali untuk kita renungkan. Syaikh Al Munjid, penceramah
dalam kaset itu mengawali kalimat-kalimat pembukanya dengan melontarkan banyak
pertanyaan. Coba simak.
“Saudaraku,
sudah berapa banyak ceramah kita dengarkan? Berapa nasihat yang sudah
disampaikan untuk kita? Berapa kali kita mengkhatamkan Al-Qur’an? Apa saja yang
sudah berguna untuk kehidupan kita? Berapa banyak perintah yang kita lakukan?
Berapa banyak larangan yang sudah kita kita tinggalkan? Berapa kali kita
mengetahui hukum suatu masalah tapi kita tidak melakukannya? Kenapa ilmu-ilmu
itu tidak membekas pada diri kita? Kenapa kita masih tetap meremehkan amal
sunnah, tapi berlebihan dalam hal mubah?
Saudaraku,
Kita
pantas berrduka dan bersedih. Duka, karena ketukan hati yang begitu mengena.
Sedih, karena sesungguhnya kita merasakan problematika dari pertanyaan itu.
Saudaraku,
Mari
ikuti kembali uraian nasihat dari Syaikh Al Munjid ini. Menurutnya, dorongan
paling kuat yang menjadikan orang beramal itu adalah kehangatan iman kepada
Allah swt. Itu sebabnya, Allah swt menyeru kita dengan kalimat “Yaa ayyuhal
ladziina aamanuu” (wahai orang-orang yang beriman) dalam banyak firman-Nya,
kemudian dilanjutkan dengan kata perintah untuk melakukan sesuatu. Maka, bila
keimanan kita berkurang, berkurang pulalah motivasi dan pendorong kita untuk
melakukan sesuatu. Jika keimanan dan keyakinan kita kepada Allah swt semakin
kuat, maka semangat beramal pun semakin kuat. Apakah ada hal lain kecuali iman,
yang mendorong Abu Bakar ra memberikan seluruh hartanya di jalan Allah swt?
Adakah alasan lain yang menjadikan seorang sahabat membuang sisa-sisa
makanannya lalu memasuki medan jihad untuk kemudian mati syahid, kecuali karena
ia yakin dengan adanya surga. Begitulah orang-orang shalih.
Saudaraku,
Itu
sebab pertama yang disampaikan Syaikh Al
Munjid. Selanjutnya, ia juga menyinggung tentang kurangnya kesungguhan kita
dalam melakukan amal shalih. Kita lemah semangat dalam mencari ilmu yang bisa
mendorong kita melakukan amal shalih.
Berbeda dengan prinsip sahabat
radhiallahu ‘anhum dahulu yang banyak bertanya kepada Rasulullah saw untuk
mendapatkan ilmu. Abu Bakar ra bertanya,”Ya Rasulullah, ajarkan aku sebuah doa
yang bisa aku gunakan dalam sholat dan di rumah.” Ibnu Mas’ud ra juga
bertanya,”Ya Rasulullah, amal apa yang bisa mendekatkan pada surga?”
Itulah
sebabnya Allah swt telah mengingatkan kita dalam firman-Nya,”Walau annahun
fa’aluu maa yuu’azuuna bihi lakaana khairan lahum wa asyaddu tatsbiitaa.”( Jika
mereka mengerjakan apa yang dinasihati kepada mereka, niscaya itu lebih bak dan
lebih meneguhkan (bagi mereka).”
Saudaraku,
banyak diantara kita yang tidak mau melakukan perintah, kecuali yang
tingkatannya adalah wajib. Sementara kita berlebihan dalam hal mubah. Kita kalah oleh lingkungan yang tidak
mendorong kita melakukan kebaikan yang kita sudah tahu. Hubungan kita juga
lemah dengan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Mengapakah Ummu Aiman ra
menangis saat dikunjungi Abu Bakar dan Umar? Ia menangis karena terputusnya
wahyu. Itu tanda bahwa Ummu Aiman memiliki ikatan yang begitu kuat dan sangat
terpengaruh dengan wahyu Allah swt.
Kita
banyak beralasan dengan mengatakan, Allah tidak akan memberi beban kecuali
sebatas kemampuan hamba-Nya, lalu kita mengatakan tidak mampu melakukan
amal-amal shalih. Kita terlalu panjang menyusun harapan keduniaan, tapi
mengecilkan target-target akhirat. Kita tidak banyak beramal untuk kepentingan
akhirat. Kita tidak terlalu yakin dengan Islam, karena kita sungkan menerapkan
petunjuknya. Kita terlalu banyak membuat tangga untuk menjadi baik, tapi sampai
sekarang kita masih tetap saja berada dalam proses untuk menjadi baik. Sementara,
kita tidak tahu kapan kita usai dan kita tak mampu lagi melakukan perbaikan.
Saudaraku,
Itu
sebagian alasan yang diuraikan Syaikh Al Munjid. Syaitan pasti mepunyai cara
sendiri untuk memalingkan kita dari mempraktikkan pa yang sudah kita ketahui.
Rasulullah saw telah mengingatkan kita soal ini,
Beliau
bersabda,:Dua sikap yang bila dipelihara seorang Muslim, maka ia pasti masuk
surga. Sikap itu mudah tapi yang melakukan keduanya sedikit saja. Bertasbihlah
sebanyak sepuluh kali, bertakbirlah sebanyak sepuluh kali, bertahmidlah sebanyak
sepuluh kali usai setiap shalat. Maka itu sama dengan seratus lima puluh kali
dengan lisan, seribu lima ratus kali nilainya dalam mizan. Lalu, bertasbihlah,
tiga puluh tiga kali, bertahmidlah sebanyak tiga puluh tiga kali, bertakbirlah
sebanyak tiga puluh tiga kali jika ingin tidur. Maka, itu berarti sama dengan
seratus kali dengan lisan, seribu lima ratus kali nilainya dalam mizan.
Siapakah diantara kalian yang dalam satu hari melakukan dua ribu lima ratus
keburukan?” para sahabat menjawab,”Ya Rasululllah, bagaimana itu mudah
dilakukan sedangkan yang melakukannya sedikit?” Rasulullah bersabda,”Syaitan
mendatangi salah seorang kalian bila ia selesai shalat dan mengingatkannya dengan
sejumlah keperluan ini dan itu. Lalu orang itu pergi, dan tidak mengucapkan
dzikir tersebut. Dan ketika akan tidur, syaitan mendatanginya lagi untuk
menidurkannya sebelum orang itu mengucapkannya.” (HR. Imam Ahmad)
Saudaraku,
Renungkanlah
kekhawatiran Abu Darda’ ra berikut ini. “Aku takut. Jika pertama kali yang
ditanyakan kepadaku kelak oleh Tuhanku adalah:’Apakah engkau amalkan apa yang
sudah engkau ketahui?’”
(Tarbawi,
Edisi 152 Th. 8/Rabiul Awal 1428 H/ 29 Maret 2007 M, hal 71)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar